Politik Demokrasi dan Pemilu

Politik Demokrasi dan Pemilu
Politik Demokrasi dan Pemilu


WakhidAhmad.com - Suhu politik
 meningkat jelang Pemilihan Umum (Pemilu). Komisi Pemilihan Umum menetapkan belasan partai politik akan berkontestasi di pesta demokrasi lima tahunan. Parpol berhaluan nasionalis, berbasis agama, maupun partai campuran kedua ideologi itu, menyiapkan berbagai strategi politik untuk mencatat sejarah kemenangan pemilu. Ada partai parlemen, ada pula partai baru yang menghiasi wajah pemilu.

Pemilu bukan hanya domain parpol yang menjadi peserta. Hajatan politik itu milik semua anak bangsa. Di luar parpol dan kelompok, publik menaruh harapan besar, pemilu ke depan tak saja identik dengan fenomena politik praktis yang pragmatis. Parpol yang hanya berpikir pemilu sebagai ruang merebut dan bagi-bagi kue kekuasaan. Jika logika politik klasik ini masih menguat di dalam nalar (kader) parpol, harapan akan terjadi perubahan besar negeri ini melalui pemilu tampak nihil. 

Berkaca pada sejarah masa lalu, pemilu tahun sebelumnya, lepas dari berbagai sisi positifnya tapi rasa-rasanya bangsa ini belum lepas dari lubang hitam pemilu yang diwarnai tindakan segala cara dihalalkan. Hasrat pragmatisme politik mendorong parpol melakukan pendidikan politik yang tak mendidik dari hulu hingga hilir. Politik transaksional masih terjadi. Idiom berkembang dalam pemilu “ke-uang-an” yang maha kuasa. Siapa punya kuasa uang, ia mampu menggerakkan modal sosial maupun politik untuk memenangkan pemilu.


Kuasa uang mendikte jalannya roda pemilu. Di tingkat basis massa, akal sehat masyarakat coba diracuni dengan gaya politik uang. Pilihan suara diperdagangkan layaknya bisnis. Suara publik dibeli dengan uang. Pilihan politik akar rumput (grasroot) lebih didorong kehendak APS alias Asal Parpol Senang. Secara dominan mereka tak menjadi pemilih aktif, selektif, kritis, mandiri, dan didorong nurani yang kuat. Pemilu menjadi formalitas menggugurkan kewajiban sebagai warga negara.  Kesadaran publik akan arti penting pemilu bagi pembenahan system/infrastruktur demokrasi, menentukan nasib republik ini, dan sejarah pemilu menjadi warisan generasi yang akan datang—pemahaman khalayak itu masih minor.

Itulah warisan politik pragmatis. Pemilu menjadi pendidikan politik yang holistik. Elit parpol, anggota, masyarakat, dan kita semua belajar berpolitik. Tapi bukan praktik politik kotor. Bukan pula politik kekuasaan an sich. Apalagi pendidikan politik menjijikan yang menjadikan uang sebagai kekuasaan. Jika ini terjadi, tesis budayawan Indra Tranggono bahwa uang menjadi kebudayaan paling buruk dalam sejarah umat manusia, menjadi benar.

Esensi politik mesti diwujudkan dalam momen pemilu. Makna politik jangan dipersempit. Realitas politik tak saja berorientasi kekuasaan, bukan pula politik merampas uang rakyat (baca: koruptor), politik bukan manipulasi yang mengabaikan etika dan norma, tak juga politik tanpa basis ideologi kuat, praktik sikut-sana sikut sini, jegal menjegal, siapa berkuasa jadi penguasa dan yang kalah jadi pecundang, politik bajing loncat, politik pencitraan, tebar pesona, politik yang bukan sekadar mengumbar janji dan miskin bukti, pun bukan politik yang hanya mementingkan individu dan kelompok, apalagi partainya—pendek kata gaya politik feodal, seperti dipertontonkan kebanyakan politisi, bukan realitas politik sesungguhnya, tapi sempalan politik yang jalankan politisi yang kurang mendalami esensi (ber)politik. Sebuah realitas politik yang diistilahkan Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM dalam buku Berfilsafat Politik (2011) sebagai reduksifasi politik. Reduksifasi merupakan wujud dari proses pendangkalan politik. Fenomena pendangkalan politik yang kemungkinan mengilhami kalangan politisi maupun parpol belakangan ini. 

Arti politik tak dangkal seperti dipentaskan dalam panggung politik nasional, apalagi jelang dan ketika pemilu—mesti dihindari. Reduksifasi politik sebuah kesempitan cara berpikir politik. Kenaifan dunia politik, sebagaimana disebutkan pula Nietzsche, tak salah tapi tak sepenuhnya benar. Karena politik sesungguhnya melampaui batas-batas reduksifasi maupun kenaifan.

Makna politik pada konteks lebih subtantif teramat luhur dan mulia. Dunia politik adalah saintifikasi (scientification) yang memiliki arti sebagai proses aktivitas yang mengedepankan rasionalitas, keilmiahan, dan kedalamannya. (Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM, 2011). Sisi lain, Aristoteles, menggambarkan politik merupakan sebuah cetusan aktivitas agung dari makhluk bernama manusia. Politik adalah cetusan kesempurnaan kodrat sosialis, rasionalitas sekaligus moralitas manusia. Artinya, tidak manusiawilah manusia bila ia tidak mengintegrasikan dirinya dalam tata kelola hidup bersama. 

Begitulah esensi maupun substansi politik, yakni kehendak hidup bersama. Reduksifasi politik, lantas dijadikan legitimasi dalam membangun kultur demokrasi di ajang pemilu adalah kenaifan politik sekaligus mengaburkan makna politik sebenarnya. Pemahaman politik yang dangkal jangan sampai melembaga dalam sistem sosial masyarakat.

Itu berbahaya, karena masyarakat nanti menjadi alergi dan bahkan apatis terhadap dunia politik. Padahal manusia secara kodrati tak mungkin dapat lepas dari aktivitas politik. Kita kenal istilah zoon politicon, yang memberikan kesadaran pada khalayak bahwa kita tak bisa lepas dari kegiatan politik di mana dan kapan pun. Aktivitas politik yang tak hanya terjadi jelang maupun saat pemilu, tapi dalam kegiatan sehari-hari manusia.

Pemilu diimpikan masyarakat akan dicatat sejarah. Tapi bukan histori kelam dengan dinamika politik tak sehat dan tak mendidik. Pasca Pemilu 1955, bangsa ini belum pernah lagi merasakan dan atau mengabadikan pemilu yang jujur, bermartabat, pemilu yang memberikan pendidikan politik cerdas bagi warga negaranya. 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama