Pernikahan Dini dan Peran Agama?


Pernikahan Dini dan Peran Agama?
Pernikahan Dini dan Peran Agama?

Maraknya pernikahan dini yang banyak disebabkan dengan istilah “kecelakaan” dalam menjalin hubungan pacaran secara bebas misal, tidak lepas dari minimnya pendidikan agama yang didapatkan baik melalui pendidikan formal di institusi pendidikan, pendidikan sosial, dan kultural di masyarakat atau lingkungan keluarga. Artinya muda-mudi yang di mana mereka masih berusia sedang mencari jati diri atau identitas menjalin hubungan pacaran pada batas yang tidak wajar. Bahkan hubungan cinta terlarang yang mereka lakukan kadang menabrak norma sosial, adat dan bahkan aturan agama.

Realitas sosiologis itu, banyak terjadi di kota besar, termasuk Yogyakarta. Di kota ini, banyak kasus ditemukan sepasang anak muda menikah akibat pergaulan bebas. Mereka membangun bahtera rumah tangga didasari atas “keterpaksaan” dengan keadaan akibat salah pergaulan dan atau keliru menjalin hubungan pacaran dengan kekasih. Ini suatu yang ironi. Pada 2011 saja, di Bantul, Yogyakarta misal, terdapat 135 pasangan usia dini yang mengalami kasus hamil sebelum menikah. Itu sungguh membuat publik miris. Yogya yang dikenal sebagai Kota Pelajar, Kota Pendidikan, dan seabrek predikat lain yang disandang kota ini tetapi pendidikan sosial dan moral-religius muda-mudi sangat dangkal bahkan cenderung kering dan hampa makna.

Pun akibatnya cukup fatal. Pergaulan bebas dalam batas yang tidak wajar dianggap lumrah. Kita dapat melihat dalam konteks sosial masyarakat, bagaimana pergaulan bebas anak muda yang liberal. Di ruang publik kita sering melihat mereka tak jarang mempertontonkan kemesraan layaknya suami-istri. Bahkan kita terkadang sukar membedakan mana orang yang pacaran dan yang mana yang sudah menikah. Itu karena, mohon maaf, sikap senonoh seperti, berpelukan, berciuman, mereka lakukan tanpa rasa malu bersalah. Itu di ruang sosial, apalagi di ranah yang dianggap privat. Misalkan saja, di dalam kos, mohon maaf perbuatan mesum dan kumpul kebo menjadi pemandangan lumrah terjadi—diakui ataupun tidak.

Kita pun sangat menyayangkan. Gaya hidup liberal ala Barat mengikiskan nilai agama dan kesantunan sosial, jelas berimbas buruk baik pada dirinya sendiri maupun lingkungan masyarakat di mana anak muda tersebut tinggal. Tentu, tingkah laku hidup seperti itu, menjadi penyebab kehamilan di luar nikah. Dan bukan tak mungkin hal itu menjadi faktor dominan. Ujung-ujungnya, karena keadaan yang memaksa mereka harus menikah dini demi mencegah fitnah sosial, malu pada diri sendiri apalagi keluarga dan menebus atas kesalahan agama dilakukan.

Kritik Agama

Fenomena sosial pernikahan dini, tentu tak bijak jika menyalahkan sepenuhnya pada si korban. Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Istilah lain, meminjam ungkapan Yudi Latief (2011), jangan menjadikan mereka blaming the victim (menyalahkan korban). Memang tak patut juga melimpahkan semua salah pada korban (baca: mereka yang terpaksa menikah dini karena keadaan). Sebab penyebab pernikahan dini tidak tunggal. Ada faktor penyebab lain di luar diri seseorang menjadi alasan mengapa pernikahan dini terjadi hingga marak. Yakni, pemahaman agama yang kurang didapatkan anak muda sehingga berperilaku amoral yang berujung pada pernikahan dini.

Memang agama di era modern banyak mendapatkan kritikan yang begitu tajam. Abu Laka (2011), mengatakan, di zaman modern problem mendasar agama karena agama cenderung diajarkan dan diperkenalkan sebatas doktrin dan dogma yang kaku. Agama diperkenalkan dengan cara yang tidak fleksibel sesuai kebutuhan orang yang didakwai, misalnya terfokus lewat mimbar dan ceramah formal. Dengan bahasa lain, ajaran agama yang diberikan juru dakwah (da’i) terhadap masyarakat tidak kontekstual dengan perubahan zaman. Akibatnya cukup fatal terjadi kesenjangan antara idealitas dengan realitas yakni moral agama belum menyentuh pada aspek kehidupan anak muda (mad’u) secara dominan padahal banyak di antara mereka yang justru menjadi korban pergaulan sosial yang berujung pada pernikahan dini.

Walhasil, nilai-nilai agama menjadi kering dan hampa makna bahkan dianggap belum mampu menjawab persoalan sosial pemuda. Agama dipelajari sebatas ritual dan simbol yang kehilangan sakralitas dan dimensi spiritual yang membumi. Ajaran agama belum menyentuh hakikat kehidupan manusia, termasuk anak muda. Dengan bahasa lain, moralitas agama diharapkan mampu melindungi manusia (baca: anak muda) dari berbagai penyimpangan sosial dilakukan, namun harapan itu dalam realitas belum terwujud.

Adalah tugas komponen masyarakat, tidak hanya juru dakwah, bagaimana memperkenalkan dan menanamkan nilai agama tidak saja sebatas ritual, dogma, dan doktrin, apalagi dilakukan dengan metode klasik dakwah lewat mimbar—secara nyata cara itu belum dapat optimal memberikan kesadaran utuh terhadap nilai agama yang maha agung. Maka diperlukan cara lain, sesuai dengan kebutuhan dan keinginan anak muda, dalam mengemas dakwah tepat sekaligus kontekstual supaya pemuda tidak lagi terjerumus pada lubang nista yang berujung pada pernikahan dini yang tidak dikehendaki.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama