Sisi Hewaniyah Birokrat-Koruptor

Sisi Hewaniyah Birokrat-Koruptor
Sisi Hewaniyah Birokrat-Koruptor

WakhidAhmad.com - Terhambatnya reformasi birokrasi akibat praktik korupsi masih begitu kuat. Pada praktiknya reformasi birokrasi ditunggangi penumpang gelap bernama koruptor. Virus birokrasi membuat perjalanan roda pemerintahan baik pusat maupun daerah menjadi lamban dan bahkan terseok-seok.

Dalam konteks itu, artikel penulis ingin menelusuri bagaimana kejahatan korupsi itu dapat terjadi yang melibatkan manusia serakah. Analisis ini menjadi penting sebab walaupun sistem pemerintahan dibuat dengan sangat bagus (baca: reformasi birokrasi), tapi jika aparat birokratnya masih bertindak culas maka sistem itu menjadi tak berarti. Bagaimanapun birokrasi dikendalikan oleh manusia.

Pertanyaannya kini mengapa manusia melakukan korupsi?. Tidak dapat disangkal memang, hegemoni korupsi mengakar dalam ritus kehidupan manusia tak terkecuali birokrasi pemerintahan. Kuasa korupsi menjerumuskan manusia pada kehidupan nista. Seseorang melakukan korupsi dianggap wajar. Penyalahgunaan kekuasaan, penyimpangan, penghianatan atas kepercayaan kerap kita temukan di birokrasi. Bahkan korupsi dan orang melegalkan budaya korup dianggap biasa di lingkungan birokrat. Seseorang tak melakukan korupsi, ia dikucilkan dalam pergaulan dan atau interaksi sosial birokrat.

Kondisi sosial, meminjam istilah Hannah Arendt, yakni kejahatan korup tak lagi dianggap sebagai sesuatu yang tabu, melanggar norma, etika sosial, rambu-rambu teologis, melainkan dinilai sesuatu yang biasa (banal) akibat dari kemiskinan imajinasi dan ketidakberpikiran manusia. Sifat hewaniayah koruptor mengeras. Nurani dan nalar ditutupi kehendak, hasrat, libido, ambisi, syahwat kekuasaan, dan bahkan kenikmatan duniawi. Pemikiran dan tubuh digerakkan pada hal-hal yang menjerumuskan manusia dalam kubangan kesesatan. Menipu, mengambil harta bukan miliknya, dan berbagai perilaku janggal lain dilakukan dengan sadar serta rasa tanpa bersalah. Itu artinya, korupsi tak semata dipandang sebagai persoalan sistem birokrasi buruk, bukan pula akibat pasal-pasal hukum multitafsir.
Korupsi tak pula bicara soal ekonomi, kelemahan agama, atau dorongan politik. Pada konteks lebih esensi, korupsi dan tradisi korup yang melembaga dalam birokrasi akibat manusia. Sisi hewani manusia yang membangkitkan hasrat untuk menjadi koruptor. Dalam filsafat (anti) korupsi manusia dipandang subjek dominan pelaku korup(si). Manusia adalah aktor penting kejahatan korupsi. Elias Canetti (1905-1994) mengatakan bahwa akar dari kejahatan dan sikap korup manusia adalah sisi-sisi hewani yang bercokol di dalam dirinya, serta kemampuannya untuk berubah, atau bermetamorfosis.

Dengan bahasa lain, korupsi adalah ekspresi dari situasi manusiawi kita sebagai manusia, yakni karena kita memiliki hasrat berkuasa, gemar berburu kenikmatan, memiliki sifat-sifat hewani yang brutal, sehingga korupsi seolah menjadi tindakan wajar yang tak lagi dilihat sebagai kejahatan. Itulah mengapa birokrat mengkorup uang rakyat. Ini mesti disadari agar manusia dapat melampaui kehendak sisi hewani pada dirinya. Pada konteks lebih esensi supaya ia tak menjadi manusia nista di dunia dengan melegalkan praktik maupun budaya korupsi di lingkungan birokrasi. Semoga!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama